(NOTE) Ini adalah cerita lanjutan yang bermulai di acara ulang tahun Oma Grace. Cerita sebelumnya bisa diintip di label OmaGrace. Silahkan bertanya via twitter ke @RiriNvr kalau bingung urutannya. Anyway, enjoy!
Riri Nur
tangga aksara-aksara
Selasa, 03 Desember 2013
Let it Go
Jumat, 25 Oktober 2013
Dan Nanti
Bertemu denganmu
lalu jatuh cinta tidak pernah ada dalam perencanaan hidupku. Buatku segala hal
yang berkaitan dengan cinta dan komitmen hanyalah jalan yang dipilih manusia di
seluruh dunia ini untuk semata-mata bereproduksi. Tidak lebih dari itu. Namun, ternyata
hati tidak pernah bisa memilih untuk jatuh di tempat yang benar pada orang yang
tepat. Aku baru sadar akan hal itu ketika aku merekam jejakmu di hidupku.
Gerimis masih menggantung
di awan ketika kamu menyapaku untuk pertama kali. Tidak ada getaran apalagi
perasaan yang berbeda kala itu. Aku pikir, kamu adalah pria yang sama dengan
pria lainnya. Yang datang untuk coba-coba. Iseng-iseng berhadiah. Yang hanya
ingin aku sebagai teman menghabiskan malam agar tidak terlalu dingin. Haha, ya,
kamu memang seperti itu. Tapi, kamu memang hebat memainkan peranmu. Kamu buat
aku merasa bahwa kamu berbeda dari mereka. Sebab kamu dengan sabar menungguku
membuka hati dan perlahan namun pasti kamu melangkah ke dalam hatiku, membangun
konstruksi permanen tanpa izin yang isinya hanyalah kamu, mimpimu, dan hidupmu.
Konstruksi yang tidak sanggup aku hancurkan meski beribu luka sudah kamu
hujamkan.
Jika pertama
kali kamu menyapa gerimis masih menggantung, maka gerimis sudah berubah menjadi
hujan kala benteng pertahanan yang aku bangun untuk hal-hal ajaib bernama cinta
runtuh. Kamu dengan gagah melangkah di antara puing bentengku itu dan
menjanjikanku sebuah perbaikan. Kamu menjanjikanku sebuah masa depan lengkap
dengan rumah impian, bukan sekedar benteng pertahanan seperti ini. Kamu berhasil
mengubah hatiku yang beku menjadi mencair dan hidup lagi. Sebab kamu hembuskan
harapan tentang bahagia di sana.
Dan...aku
hanya wanita biasa.
Yang tidak
pernah bisa menolak perasaan bahagia karena dilindungi.
Yang tidak
mampu menarik diri ketika sudah menjatuhkan hati.
Yang terlanjur
menggantung potret dirimu sebagai sosok pahlawan di ruang hatiku yang terbuka. Di
mana semua orang bisa melihatnya dan merasa iri padamu sebab aku begitu
membanggakanmu. Bahkan ibuku mulai percaya akan kamu. Bahkan semua orang mulai
masuk ke dalam skenariomu yang pantas dianugerahkan lima bintang dalam review di good reads.
Kamu memang benar-benar hebat.
Topeng yang
kamu kenakan sungguh baik sampai tidak ada satu pun di sekitar kita yang
percaya kalau tidak ada laginya kata ‘kita’ adalah karena kamu yang berubah
brengsek dan menyebalkan seperti pria lainnya. Mereka berpikir bahwa aku lah
yang meninggalkanmu. Aku lah yang jahat. Aku lah yang membuat kamu berubah
menjadi sosok yang tidak aku kenal seperti ini.
Tapi, mereka
tahu apa? Mereka hanya melihat kulit dari kisah kita. Toh, memang aku tidak
ingin membuatmu terlihat buruk di hadapan mereka. Aku menghormatimu sebagai
pasanganku. Lagi pula, tidak satu pun dari mereka yang tahu sulitnya
perjuanganku mempercayakan hatiku untuk kamu jaga. Mereka tidak tahu bagaimana
terjalnya aku mempertahankan kita. Mereka tidak tahu bagaimana sakitnya aku
menemukanmu berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal. Mereka tidak tahu
bagaimana rasanya menunggu kamu pulang tanpa kabar. Mereka tidak tahu beratnya
bertahan di kala kamu terus menerus memintaku untuk pergi. Mereka tidak tahu
jalan yang sudah aku lewati untuk mempertahankan apa yang nantinya memang akan
menjadi milikmu.
Mereka tidak
tahu itu, Sayangku.
Yang mereka
tahu hanyalah sudah tidak ada lagi kita.
Yang mereka
tahu hanyalah aku gagal lagi dalam cinta.
Yang mereka
tahu aku sama seperti wanita-wanita lainnya itu; tidak komit hingga kamu
memilih pergi.
Mereka memang
tidak perlu tahu. Toh kalau tahu hanya akan tertawa. Atau minimal pura-pura
simpatik tapi dalam hati juga tertawa karena kita yang aku banggakan setengah
mati kini menguap ke udara menjadi polusi.
Biar saja, nanti
lama-lama mereka akan tahu. Siapa kamu. Siapa aku. Siapa kita dulu dan mengapa
kita melebur jadi debu. Semua hanya permainan waktu, Sayangku. Kamu bisa saja
bahagia dan tertawa bersama dia sekarang ini sedang aku memunguti kepingan hati
yang kamu buang ke jalanan dengan harga diri yang hampir tak bersisa. Mungkin, kamu berpikir tidak akan kehilangan aku sebab ada satu keping dari hatiku yang pecah berantakan itu kamu bawa serta. Tapi pada saat kamu yakin tidak akan kehilangankulah, kamu kehilangan aku. Because you forget something, my dear, you
forget that wheels are keep running. You forget karma does exist. You forget that once you let me go, I'd never return your call. Aku bukannya
menyumpahimu, tapi aku yakin Tuhan ada. Dan Dia nanti yang akan menunjukan pada
mereka mengapa kini ‘kita’ hanya tinggal kata tanpa makna.
***
Tetes Rasa yang Turun di Bulan Oktober
Hujan di bulan Oktober
Sangat fasih membawa hilang harap ke dalam rinainya
Dengan sempurna mempasung langkah yang sudah diniatkan dari
Mei lalu
Perlahan dan tenang;
Haluan berpindah ke dalam riak kesedihan
Terombang lalu terambing dalam kata-kata yang tak pernah
terlintas di otak kanan;
Pisah. Belah. Sudah; hampa!
Apakah semudah ini?
Berhenti dari apa yang tak pernah ingin terhenti
Terhenti oleh apa yang tidak diketahui asalnya
Asal yang tidak diketahui bagaimana mulanya
Mula yang tidak diketahui kapan waktunya
Waktu yang tidak diketahui mengapa tak bisa kembali
Dan kembali yang tidak pernah menjadi mungkin karena semua
sudah berhenti
Ataukah mati rasa seluruh inderaku sekarang ini?
Ataukah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah ada di dalam
sini?
Ataukah di dalam sini belum bisa menerima akhir?
Kukemukakan pada langit yang menggantungkan senja sebagai
pasangannya
Tak juga ada jawaban dari segala tanya tentang rasa yang
tiba-tiba menghilang
Perih dan lirih.
Hanya itu yang ku tahu seiring tetes air hujan di bulan
Oktober membasahi bumiku
Aku pun ikut luruh dalam derasnya
Jumat, 18 Oktober 2013
AKu (Tidak) Benar Benar Mengenalmu
Yang paling menyakitkan dari mencintaimu itu bukanlah
melihatmu mencintai orang lain.
Tapi, menemukanmu berpura-pura mencintaiku dengan tetap
ada di sampingku sampai saat ini.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika mencintaimu bukanlah menemukanmu tidak
membalas cintaku, melainkan menemukan tatapan
kosongmu tiap kali membicarakan tentang kita. Kamu memang tersenyum dan
tertawa, namun, matamu tidak. Mereka tetap redup seperti penerangan cafe
favoritmu di ujung jalan sana.
Sungguh sangat menyakitkan menemukan dirimu yang
berusaha keras menutupi bahwa kamu tidak lagi ingin berada di sini. Seperti saat ini. Kamu memang di sana. Duduk dengan
novel Emily Giffin di sofa tua kesayanganmu yang kita beli ketika tidak sengaja
melewati suatu perumahan yang sedang mengadakan garage sale. Jarakmu hanya lima langkah kecil kakiku yang besar,
tapi, kamu terlihat begitu jauh dari tempatku berdiri. Seolah kamu pergi jauh
ke New York sana, seperti latar belakang dari buku itu. Sedang aku berdiri di sini menatap punggungmu
yang bergerak naik turun secara teratur. Menontonmu seperti film bisu
yang tokohnya terhanyut dalam tiap kata
di
dalam buku berjudul Love the One You’re With. Buku yang judulnya setengah mati membuat rasa sakit semakin
nyata di dada, apalagi ketika aku
melihat matamu berbinar menahan tangis saat membacanya. Hal
itu membuatku makin yakin, kalau kamu benar-benar tidak mencintaiku. Laki-laki
yang mencintaimu tanpa alasan. Yang berdiri teguh meski kini nyatanya kamu
tidak benar-benar di sini.
“Ray, lagi ngapain di sana?” tanyamu sambil menutup
novelmu.
Aku menggeleng di bawah tatapan matamu yang hitam. Bingung mau menjawab apa.
Kamu lalu menoleh ke arah jam dinding, lalu bangkit dan
menuju ke arahku, “Oh, God. Maaf, aku
keasikan baca sampai lupa kalau ini sudah waktunya kamu minum obat,” katamu
sambil mengelus tangan kananku. “Aku ambilkan ya.”
Aku mengangguk pelan. Mataku mengikuti
tiap gerakan tubuh mungilmu yang seperti angin. Begitu ringan tapi, cepat. Kamu
menyiapkan semua keperluanku dengan cekatan dan kembali kepadaku dengan
senyuman.
“Ayo, minum obatmu dulu,” ajakmu lembut dan berjalan
menuju sofa.
Aku mengekor kemudian duduk di samping kananmu dan
menatapmu menyiapkan obat-obatan yang membuatku muak itu.
“Ini,” kamu menyerahkan sebutir pil bewarna merah muda.
Aku menatap pil dan kamu bergantian. Sepertinya rasa muak sudah menjalar hampir ke seluruh bagian
tubuh. Tanganku berat untuk menerima pil kecil itu.
“Ayolah, hanya
beberapa butir saja, kok,” hiburmu sambil menjulurkan pil itu ke dekat bibirku.
Sumpah demi Zeus, kalau bukan karena senyummu, aku
tidak akan pernah membuka mulutku. Dengan bantuan air putih yang kuminum, pil
itu segera turun ke bagian pencernaan dan jIka Tuhan mengizinkan, dalam
hitungan jam ia akan melebur lalu bekerja melawan penyakit yang hampir setahun
ini aku derita. Penyakit yang membuat matamu redup seperti pencahayaan café
kesayanganmu ketika mengetahuinya.
Lagi, kamu menyuapi
butir kedua, ketiga, dan keempat kepadaku dengan lembut. Di butir kelima aku
menghentikan tanganmu.
“Aku muak,” kataku
pelan.
Kamu menatapku lalu
menghela nafas dalam-dalam.
“Ray, ayolah, satu
kali lagi,”
ucapmu sabar.
Aku menggeleng, “Sudahlah,
Binar. Obat ini sama sekali nggak membantu aku untuk sehat. Sudah satu tahun
aku konsumsi ini dan kondisiku masih saja sama.”
“Kita kan sudah
sepakat untuk terus mencobanya, Ray. Give
it a try. Mungkin enam bulan, tiga bulan, dua bulan atau bahkan besok baru
akan terlihat hal yang signifikan,” kamu berusaha menyuapi butir obat terakhir
itu padaku.
“Kenapa, sih, kamu
mau repot-repot melakukan ini untuk aku?”
Tanganmu
menggantung beberapa detik di sekitar wajahku lalu turun perlahan.
“Menurut kamu
kenapa?” ungkapmu dengan wajah yang dibuat ceria.
“Aku…aku nggak
tahu.”
Kamu tersenyum lalu
mengelus sayang lenganku, “Kamu tahu, Ray, alasannya.”
“Aku nggak pernah
melarang kamu untuk pergi kalau kamu mau, Nar.”
Senyum langsung
menghilang dari wajahmu ketika mendengar kalimatku.
“Maksud kamu?”
“Kamu berhak
bahagia, Binar. Bahagia yang sebenar-benarnya. Tanpa beban. Tanpa merasa harus
bertahan.”
“Aku bahagia,” ungkapmu cepat.
Aku menggeleng,
“Mata kamu nggak bisa bohong, Binar. Sudah lama aku nggak melihat binar di mata
kamu sejak aku divonis penyakit ini. Kamu menjadi begitu redup dan seolah nggak
benar-benar di sini.”
Kamu terdiam dan hanya menatapku dengan tatapan yang
tidak mampu didefiniskan keterbatasanku. Beberapa kali mulutmu terbuka untuk
bicara, namun, tertutup lagi. Seolah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanmu
untuk bicara.
“Ayo, minum obatmu lagi,” katamu akhirnya sambil
menyuapiku.
Aku menggeleng dan menahan tanganmu agar tidak bergerak
lebih dekat ke mulutku.
“Aku nggak pernah menahan kamu, Binar,” ungkapku.
“Maksud kamu apa, sih, Ray? Kamu mau bilang kalau kamu
mau aku pergi dari sini?” tanyamu dengan nada cukup tinggi.
Aku diam.
“Kamu mau bilang kalau aku akan lebih bahagia tanpa
kamu?”
“Aku hanya nggak mau keterebatasan aku membuat kamu
merasa beban, Binar.”
“Keterbatasan apa lagi, Ray? Sampai kapan kamu mau kita
bahas masalah yang nggak ada ujungnya begini?” suaramu mulai bergetar.
“Aku sakit, Binar! Sakit!” sentakku. “Coba kamu lihat
aku sekarang! Lihat aku, Binar!” aku memaksamu menatapku.
“Aku bukan Ray
yang kamu kenal dulu. Lihat fisik aku sekarang, makin kurus dan kurus dari hari
ke hari gara-gara penyakit kanker sialan yang tiba-tiba datang ini! Aku nggak
bisa lagi jaga kamu. Aku terbatas, Binar. Dan kamu berubah sejak kamu tahu
tentang itu. Kamu...jauh. kamu...seperti bukan kamu lagi. Itu sudah cukup
menjadi tanda kalau aku gagal buat kamu bahagia. Kalau kamu di sini—bertahan—hanya
karena kamu kasian denganku. Karena kamu—”
PLAK!
Aku baru tahu, tangan semungil itu bisa menampar
sesakit ini.
“I can’t believe
you said that,” ungkapmu dingin. “Satu-satunya alasan kenapa aku di sini
itu kamu. Hanya kamu. Aku pikir sepuluh tahun cukup untuk kamu mengenalku,
tapi, ternyata kamu nggak kenal aku sama sekali.”
Lalu kamu bangkit pergi meninggalkan aku dan egoku yang
berantakan.
Seiring udara membawa harum parfummu menari di
penciumanku, aku sadar. Bagian paling menyakitkan ketika mencintai memang
menemukan orang yang kita cintai berpura-pura mengenal kita. Dan aku sudah
menyakitimu. Dengan segala prasangka yang berdasarkan bahwa aku sangat
mengenalmu dan memojokkanmu karena kamu tidak mengenalku. Namun, ternyata akulah yang tidak benar-benar mengenal kamu.
***
sumber foto : tumblr.com
Langganan:
Postingan (Atom)