Senin, 19 November 2012

Tentang Kita


Musim dingin yang hangat di Manhattan

Sepercik rindu yang membuatku sadar kalau hanya kamu yang mampu membuatku merasa sempurna.
Aku pikir dua hari tanpamu semua akan baik-baik saja. Meski pun semua memang terlihat baik-baik dan biasa-biasa saja dari luar sana. Karena aku masih bangun subuh-subuh, pergi solat, kemudian keluar untuk mengambil botol-botol susu seperti kamis pagi biasanya. Aku lalu mandi dan membuat scramble egg untuk sarapan seperti biasa. Aku berdandan untuk pergi ke kantor seperti biasa. Bertukar sapa dengan Jill dan mendapatkan beribu kata kangen, pelukan, juga ciuman dari buah hati Jill dan Ray si kembar Albert dan Aubrey ketika bertemu di lift. Aku masih menjawab pertanyaan pasangan Smith dengan jawaban sebiasa mungkin ketika mereka menanyakanmu di lobby apartemen kita.
“Dara, kemana Hanggo? Biasanya selalu berdua dan buat istri saya iri,” Tanya Mr. Smith sambil melirik istrinya yang cantik meski pun usianya sudah tak muda lagi.
Mrs. Smith hanya menatap suaminya pura-pura kesal.
“Hanggo…lembur. Dia menginap di kantor,” jawabku.
“Si Hanggo terlalu banyak bekerja, bilang padanya, aku mengundangnya makan malam weekend nanti,” sahut Mrs. Smith.
Baru saja aku ingin bicara dan menolak, Mrs. Smith memotong, “Tidak boleh di tolak. Aku tidak suka penolakan. Sabtu malam. Di apartemen kami. Pukul tujuh.”
Dan aku tidak punya pilihan lain selain mengagguk dan tersenyum sebiasa mungkin ketika mereka menggoda kemesraan kita. Tapi ‘sebiasa mungkin’ itu tidak pernah sebiasa jika kamu di sini. Things won’t be the same without you. Seketika aku merasa tiga lapis baju yang aku pakai hari ini kurang. Entah mengapa memikirkanmu tidak pulang week end nanti membuatku merasa dingin sedingin-dinginnya.
Hhh…
Dua hari tanpamu di apartemen kita yang sederhana, masih jelas ku rasakan auramu di sekitar ruangan. Aku tidak pernah ingin percaya bahwa kamu tidak ada di sana. Bahkan, aku berani bersumpah, semalam aku mendengar suaramu memanggil lirih namaku. Seperti malam-malam biasanya kalau kamu terjaga dan kelaparan. Tapi, aku hanya menemukan ruang kosong di sampingku. Ruang tempat biasa kamu tidur.
Ya Tuhan…
Kamu benar-benar tidak ada di sana.
Dan itu membuatku berandai-andai sampai tertidur karena kelelahan.
Berandai-andai apakah kamu di sana juga merasakan kekosongan yang aku rasakan?
Apakah kamu tidur dengan tenang?
Apakah kamu merindukan stupid fight kita tentang lampu kamar mandi?
Apakah kamu ingat bagaimana serunya ketika bermain perang salju bersama Albert dan Aubrey di taman kota? Hari itu kamu satu tim dengan si cantik Aubrey dan aku satu tim dengan Albert. Kita saling berlarian dan melempar bola-bola salju sambil tertawa. Dan ketika bola salju dari Albert telak mengenai mukamu, beberapa saat kamu terdiam karena kaget. Saat itu wajahmu sangat menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak memelukmu yang terbaring di atas salju. Hanya perlu beberapa detik saja hingga Albert dan Aubrey bergabung bersama kita di atas salju. Berguling-guling bersama di atas salju Manhattan yang dingin. Anehnya hari itu terasa hangat. Itu pasti karena kamu ada di sana. Bersamaku. Memelukku. Erat.
Dan kita bahagia.
Aku lebih-lebih dari sekedar merindukanmu, Go. Aku merindukan kita. Merindukan aku dan kamu. I miss us from head to toe.
Aku merindukan kita yang dulu.
Kita yang selalu telat bangun di hari jumat karena kita menonton DVD sampai lewat tengah malam. Kita yang selalu saja melempar tugas untuk mengambil botol-botol susu padahal kita sudah menyepakati jadwalnya. Kita yang waktu kuliah sering nongkrong di masjid—bukan hanya nongkrong tapi, aktif memberi ide acara rohis—dan malamnya pergi clubbing. Kita yang tak pernah akur dalam urusan makanan. Kita yang sudah bersama dari jaman putih-biru.
Kita yang nekat nikah muda. Kita yang berhasil meyakinkan kedua orang tua kita kalau kita akan baik-baik saja tinggal di negeri orang. Kita yang taubat bersama dari tingkah alay jaman dulu. Kita yang melewati berbagai musim bersama. Kita yang sudah melewati susah dan senang bersama. Kita yang selalu bercinta kapan saja di apartemen kita. Kita yang dulu kompak menjawab dengan nyeleneh pertanyaan tentang ‘kapan punya anak?’ dari seluruh keluarga kita. Kita yang menangis ketika mendengar lagu Indonesia Raya tengah malam tepat tanggal 17 Agustus.
Kita, Go. Aku dan kamu.
Bukan cuma kamu atau aku. Tapi kita.
Aku merinduan aku dan kamu yang bahagia.
Sekali-kali. Aku ingin kamu memikirkan tentang kita.
Is that too much?
Sampai membuatmu kamu pergi dengan alasan yang ingin aku ungkapkan padamu saat ini ; I miss the old of us.
If you miss me that much, why do you have to go and let me lost in my freaky mind that you had another woman out there?
Gosh! Hanggo!
Bahkan kamu tidak tersenyum ketika aku menghampirimu di SubWay.
Hanggo…
Aku salah apa sebenarnya hingga kamu sebegini teganya membuat aku bertanya-tanya apa yang terjadi? Demi Tuhan, lebih dari sewindu aku dan kamu sepakat jadi satu paket. Dan sudah tahun kedua aku menjadi Nyonya Hanggo Nugroho, kamu tahu, ini adalah air mata pertama yang menetes setelah pernikahan kita karena aku tak bisa menahan perasaan sesak yang kamu berikan.
Manhattan itu dingin, Go. Dan kamu, keacuhanmu, yang kamu perlihatkan tadi membuat tulangku hampir mati rasa. Bahkan kopi panas di tanganku tak mampu menghangatkan barang sedikit saja.
Bahkan aku tidak mampu melangkah dari tempat kita berpapasan tadi. Bahkan tatapan aneh orang-orang di sekitar SubWay ini pun tidak mampu membuat air mataku berhenti mengalir. Bahkan telepon genggamku berbunyi nyaring, menandakan ada telepon masuk dari bossku yang super galak tidak mampu membuat rasa sakit ini pergi.
“Dara…”
Bahkan aku mendengar kamu memanggil namaku lirih.
“Dara…”
Dan kini aku merasakan tanganmu ada di bahuku.
Hanggo, kamu buat aku gila.
“Dara. Ini aku.”
Aku menoleh perlahan. Kalau sampai aku tidak menemukanmu di belakangku tepat ketika aku menoleh, aku lebih baik pulang ke Indonesia saja. Secepatnya.
Tapi, ternyata kamu di sana. Kamu yang tampan luar biasa. Lebih tampan dari Nicholas Saputra berdiri tepat di belakangku.
Kamu berdiri sambil menatapku yang masih menangis.
Matamu. Mata teduhmu yang menatapku membuat air mataku menetes lebih deras. Kemudian kamu memelukku. Erat sekali. Hangat.
I miss us,” bisikmu.
Me too.
Saat ini aku tidak ingin bicara. Aku ingin sebentar saja berada dalam tempat yang paling nyaman bagiku, tanpa memikirkan apa pun kecuali kamu, aku, kita, wangi parfummu, dan musim dingin yang perlahan hilang tergantikan rasa hangat. Dan tempat nyaman itu…dalam pelukanmu.
***
PS : Imagination Project #19 dari tema “Tempat yang Nyaman

Minggu, 18 November 2012

Selamat Pagi, Kamu!

Selamat Pagi, Kamu!
Apakah pagi ini kamu ingat?
Aku dan kamu semakin dekat bertemu
Sebentar lagi...atau mungkin masih lama
Tapi kita semakin dekat
Jadi, hari jangan cemberut ya
Karena aku dan kamu akan bertemu
Dan kamu tidak akan bangun pagi dengan perasaan dingin seperti ini


-Aku, masa depanmu
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Sabtu, 17 November 2012

Tentang Dia


Musim dingin yang sepi tanpa dia di Manhattan

Sepintas tentang dia, wanitaku yang selalu wangi kopi.
Dia tidak pernah tahu, wangi kopi yang bercampur dengan aroma tubuhnya membuat kecanduan yang tak terlakan bagiku dan selalu membuatku ingin memeluknya diam-diam tiap malam.
Dia tidak pernah tahu, hiruk pikuk kota Manhattan tidak pernah bisa membuatku berhenti memikirkan dia. Tiap detik. Tiap menit. Senyumnya selalu menjadi penenang dalam hariku yang di buru waktu.
Dia tidak pernah tahu, setiap wajah manisnya berubah serius ketika membuatkan masakan untukku membuatku ingin sekali menciumnya dan membisikan kalimat, “Baby, marry me once again, and again, and again. I love the way you say ‘yes I do’ in front of our beloved family. Marry once again.
Tidak dia tidak pernah tahu itu. Sedikit pun tidak tahu bahwa aku mencintainya lebih banyak dari yang dia lakukan. Setiap jalan dalam hidupku penuh namanya, penuh rencana manis tentangnya. Selalu hanya dia.
Hidupku penuh mimpi…suatu saat aku dan dia akan bermain sky bersama anak kami dan tertawa bersama melupakan dinginnya kota Manhattan. Tidak dia tidak pernah tahu itu.
Dia tidak pernah tahu, selalu ku sematkan namanya di tiap doaku. Ia tidak pernah tahu ketika aku bisikan aku ingin bersamanya—hanya dia tanpa smart phone apalagi tv—di atas kasur di balik selimut kami, berarti aku sangat-sangat merindukan dia. Aku sangat menyukai apa yang ia lakukan untukku. Aku memujanya. Seluruh tentangnya. Senyumnya, tubuhnya, gaya bicaranya, marahnya, pelukannya, masakannya, caranya membangunkanku tiap pagi, seluruhnya yang tak mungkin aku sebutkan lebih jauh. Aku memujanya.
Tapi dia tidak tahu.
Dia tidak tahu kalau aku tidak suka ada pria lain selain aku yang ia suka suaranya. Aku benci Michael Buble. Karena yang aku mau hanya aku yang membuatnya tersenyum seperti itu. Hanya aku.
Dia tidak tahu sedikitpun, aku sengaja lupa mematikan lampu kamar mandi. Untuk membuatnya bicara. Aku ingin mendengar suaranya yang lembut itu berubah tinggi dengan cara yang anggun ketika mematikan lampu.
Dia tidak pernah tahu…
Setiap week days aku ingin pulang cepat dan menemukan dia menyambutku di apartemen kecil kami sambil tersenyum dengan muka bantalnya yang lucu. Dia tidak pernah tahu aku berlari mengejar bus agar bisa melihat itu. Dia tidak tahu.
Dia juga tidak tahu ketika aku tidur membelakanginya malam itu, sesungguhnya aku ingin dia yang memelukku. Dari belakang. Sampai pagi. Tapi, dia tidak pernah tahu.
Dia tidak pernah tahu aku patah hati. Ketika ia muram pagi itu. Ketika ia tak lagi tersenyum menyambutku bangun dari tempat tidur. Ketika dia tidak menahanku ketika aku pura-pura lupa tidak menciumnya sebelum kami berpisah di SubWay.
Dan ketika dia hanya terhenti di antara kerumunan orang ketika aku hanya melewatinya tanpa tersenyum.
Aku patah hati dia tidak mengejarku.
Tapi dia tidak tahu itu. Padahal sudah kukenakan syal pemberiannya, mengapa sulit bagimu sadar aku menginginkanmu lebih dariku, Dara?
Dia tidak pernah tahu. Atau pura-pura tidak tahu? Atau memang aku yang terlalu berharap lebih darinya?
God, I really need her to love me. I need her to need me in her day.
Tapi dia tidak pernah tahu.
Kalau pria terkadang ingin sekali di manja. Kalau pria seperti aku kadang sulit ungkapkan cinta lewat kata. Kalau pria terkadang merasa begitu kecil dan takut kehilangan, dia tidak pernah tahu itu. Yang dia tahu aku pergi meninggalkannya.
Salahku. Maafkan aku, Dara.
Bukan salah cuaca yang membuatku kedinginan hari ini, tapi karena caraku yang salah hingga membuatnya kini tak ada di sampingku.
Karena ia tidak pernah tahu, ada cinta yang hangat untuknya di hatiku yang kini perlahan berubah menjadi sedingin salju ketika aku lihat dia menangis di ujung jalan sana.
Dia tidak pernah tahu. Aku ingin bunuh diri karenanya.
Tapi sekarang aku ingin dia tahu.
Aku mencintainya. Lebih dari apapun.
Aku ingin dia tahu dalam hidupku yang sederhana ini selalu tentang dia.
Hanya dia.
Demi dia.
Untuk dia.
Dan masa depan kami.
It is always been you, Dara…
***
cerita sebelumnya : "Tentang Kamu" http://ririnur.blogspot.com/2012/11/tentang-kamu.html

Tentang Kamu


Musim dingin di Manhattan

Semua ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pernah suka makan masakan Cina yang ku pesan di hari dingin di Manhattan.
Kamu bilang kamu ingin makan masakan Indonesia buatanku. Aku pun dengan senang hati memasakannya, soto ayam kesukaanmu, tapi kemudian berakhir dengan maag mu kambuh dan kamu terbaring lemah tidak nafsu makan.
Sotoku berubah dingin tanpa pernah kamu sentuh.
Tentang kamu yang mengeluhkan cuaca yang terlalu dingin di kota sibuk ini. Hal itu membuatmu lebih suka menahanku di tempat tidur selama week end dan terlupakan sudah janjimu untuk pergi minum hot chocolate di café yang ada di ujung jalan apartement kita.
Tidak. Aku tidak mengeluhkannya. Aku suka bersamamu sepanjang hari di atas ranjang kita yang cukup besar dan di bawah selimut tebal. Aku suka menikmati senyummu dari jarak sedekat itu di hari dingin. Aku sungguh suka ketika kamu memelukku begitu erat. Aku merasa senang, menang, dan tenang dalam pelukanmu.
Tapi, Sayang, ini selalu saja tentang kamu. Tidak pernah sekali pun tentang aku. Apalagi kita.
Tentang kamu yang cemburu ketika aku tersenyum mendengarkan suara Michael Buble sambil menyesap kopiku.

Tentang kamu yang lupa mematikan lampu kamar mandi.
Tentang kamu yang pulang larut dengan wajah kuyu tapi tetap tersenyum ketika melihatku.
Ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang berubah menjadi dingin sedingin cuaca akhir-akhir ini. Tentang kamu yang tidur membelakangi ku sambil memeluk gulingmu—bukan aku lagi. Tentang kamu yang tak mengeluh ketika aku memesankan masakan Cina. Tentang kamu yang tak lagi mengecup kilas bibirku ketika kita hendak berpisah di SubWay. Tentang kamu yang aku rindukan.
Tentang pesan singkatmu yang menyakitkan dua hari lalu, “I'm sorry, you've changed. And we'll be back when everythings normal. Sure, I miss the old of you.
Harusnya aku yang mengatakan kalimat ‘I miss the old you’ tapi, lagi-lagi ini selalu tentang kamu.
Tentang kamu yang tidak pulang selama dua hari ini. Menyisakan perasaan yang sulit terungkapkan. I prefer to be punched or  kicked than treated like this. It hurt me lot of more. Makes me cry without any tears falling. Aku sudah tidak bisa menangis. Air mataku ikut beku bersama cuaca yang menusuk-nusuk tulangku.
Aku tidak tahu apa yang berubah. Apa? Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain musim dingin yang datang lebih cepat ketika aku bangun di pagi hari tanpa kamu disampingku.
Dingin. Sayang. Dingin sekali.
Tapi, ini bukan tentang aku. Ini selalu tentang kamu. Tentang kamu yang tak sengaja bertemu denganku di SubWay hari ini. Kamu terlihat tampan dengan coat abu-abu yang melindungi tubuhmu. Juga syal pemberianku yang ternyata masih kamu simpan dan kamu lilitkan di lehermu. Kamu terlihat begitu hangat dari jauh. Sehangat janjimu untuk segera kembali pulang.
Aku pun menghampiri dengan perasaan hangat di dada. Tapi, ketika aku dan kamu berpapasan, kamu memilih mengacuhkanku.
Seketika hangat itu berubah menjadi dingin yang tak tertahankan. Seketika aku benci bulan November. Aku benci orang-orang yang berlalu lalang sambil memeluk diri mereka masing-masing dan menabrakku tanpa meminta maaf. Aku benci Manhattan. Aku benci keegoisan orang-orang di sini. Aku juga butuh rasa hangat di tengah dinginnya bulan November di Manhattan. Aku butuh kamu.
I don’t know why people are as cold as the weather today and I can’t bear it any longer. I need you back soon, Summer. Very very soon to melt the ice in his heart.
Ah, aku lupa. Tidak seharusnya aku meminta untuk segera berganti musim dingin ini.
Cerita ini kan tentang kamu.
Kamu yang menikmati musim dingin tanpa aku.
Selalu kamu.
Tidak pernah aku.
Apalagi kita.
***
PS : Imagination Project #17 dari tema “People Are As Cold As The Weather Today
cerita selanjutnya : "Tentang Dia" http://ririnur.blogspot.com/2012/11/12.html