Kamis, 25 Oktober 2012

Jejak


Mengetik kata rindu di smart phone milikku dan mengirimkannya padamu bukanlah hal yang sulit. Tapi, detik, menit, dan jam setelah itu yang paling menyiksa. Tiga hari sudah,  balasanmu yang kutunggu masih juga tak datang. Dan tiga hari sudah mereka menghiburku dan berpesan agar aku segera mengikhlaskanmu. Bah! Mereka pikir mudah bangkit setelah ditinggalkan seperti ini?
Klise!
Aku ingin bertanya pada kotak bewarna biru berlapiskan kain satin yang lembut berisikan kalung berliontin intan di atas meja riasku, apa yang ada dipikiranmu, pria yang aku cintai, ketika memilihkan—bahkan membeli—benda mewah ini untukku? Mungkin kalung itu tahu alasannya. Mungkin ia berhasil mencuri dengar percakapan antara kamu dan pekerja toko yang melayanimu. Tapi, sayang, kalung itu hanya berkilau-kilau tertempa cahaya kamarku tanpa memberitahu rahasiamu sedikitpun.
Dari banyak kemungkinan jawaban yang akan kamu katakan padaku jika kita bertemu nanti, semoga bukan karena kamu ingin menebus kesalahanmu.
Kesalahanmu meninggalkanku.
Tahukah kamu, aku sangat bahagia malam itu? Malam dimana kamu minta aku untuk menjadi teman hidupmu. Namun kemudian kamu menghilang dalam diam tanpa pertanda. Tanpa kata. Hanya menghilang begitu saja secepat cahaya. Seharusnya, jika memang kamu ingin pergi dari semua yang telah kita bangun selama ini, kamu tidak perlu meniggalkan kotak cantik di genggamanku malam itu. Jejak langkahmu saja tak mampu aku hapus dengan mudah apalagi kamu tambah dengan benda mewah, juga janji-janjimu malam itu, dan musik klasik yang damai serta makan malam di bawah temaram bulan sabit malam itu.
Selamat, kamu sudah berhasil membuatku terbang dan kemudian jatuh bebas langsung ke bumi karena sayap yang kamu hadiahkan untukku ternyata palsu.
Ah. Aku tidak suka menyebutmu jahat, tapi, sayangku, sudah tiga tahun lebih kita bersama.
Untuk pergi saja kamu memilih dalam diam.
Mengapa?
Beribu-ribu bahkan jutaan kali sudah aku merekam jejakmu malam itu, tapi tetap saja hanya tanah berhiaskan nisan yang bertuliskan namamu dan sesak yang yang tak tertahankan di dada menjadi akhir dari setiap upayaku membuktikan bahwa kamu...tidak pernah pergi.
****

Rabu, 24 Oktober 2012

Don't Stop Can't Stop


Jadi...begini ya rasanya jatuh cinta?
Aku tidak pernah mengerti bagaimana awalnya aku bisa merasakan seperti ada kupu-kupu menari-nari di perutku. Mungkin ketika pertama kali kamu mengeja namamu sore itu dan kita hanya dipisahkan oleh mesin cashier. Aku dalam kaos coklat dibaluri celemek hijau yang menjadi pride milikku sebagai barista di Starbucks Coffee. Kamu dalam baju bewarna pink yang sangat terlihat pas di tubuhmu yang tinggi ramping. Aku terpesona mendengar kamu mengeja namamu dengan bibir pink alami milikmu yang terlihat sangat cantik ketika kamu mencoba memberikan penekanan pada setiap huruf yang kamu katakan.
 It’s S-E-R-A-F-I-N-A. F not V. Thank you,” jelasmu dan tidak lupa memberikan senyum padaku.

Aku menuliskan namamu juga sambil tersenyum di gelas plastik berukuran medium. Dari begitu banyak perempuan cantik yang datang berkunjung ke sini hanya kamu yang tidak mencoba meminta user name wifi dengan sikap manja. Wowow, yes, baby. I’m not trying to tease you but I’m a famous barista here. You should be so proud of me.
“Oh come on, Reza! Aku gak butuh dengar seberapa famous kamu diantara manula-manula yang datang ke sana,” godamu setiap saat aku bahas itu.
“Manula? Well, yang penting aku dapat yang tercantik di sampingku sekarang,” balasan jawabanku waktu itu malah membuatmu makin tergelak. Bahkan kamu sampai terguling-guling di lantai menandakan bahwa kamu benar-benar tidak percaya kalau aku sebegitu famous. Haha you sound jealous, babe.
Tapi...saat itu kamu tertawa begitu lepas. Tahukah kamu kalau suara tawamu itu membuatku bangga? Karena aku bisa membuatmu sebegitu bahagianya hanya dengan hal sederhana. Sebuah kalimat yang memang tulus ku ungkapkan padamu bukan joke seperti yang kamu pikirkan.
Hmm...
Jadi, memang begini ya, Na, rasanya jatuh cinta?
Setiap kalimat itu terlontar dari bibirku kamu selalu diam dan langsung memelukku erat tanpa pernah kamu pernah menawab itu.
Kenapa?
Aku tidak tahu. Tapi, yang aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Bahkan mungkin lebih besar dari yang aku punya.
Ya kan, Na?
Na...Serafina jawab aku.
Aku hampir putus asa karena kamu masih saja diam. Yang terdengar hanya suara mesin monitor jantung yang memekakan telingaku sejak tiga hari aku di sini. Duduk di kursi plastik di samping tempat tidurmu, berbicara apa pun yang mungkin ingin kamu dengar—dari gosip terkini tentang Ashton Kutcher kesukaanmu sampai tentang fotografi yang tidak aku mengerti—membacakanmu doa yang aku yakin memudahkanmu untuk segera membuka matamu kembali. Sesekali aku duduk dengan mama atau papa atau adik kesayanganmu, Sean. Melakukan hal yang sama, berbicara apa pun dan berdoa untukmu.
Namun, kamu masih tetap saja terpejam. Tidak bergerak. Hanya monitor jantung yang bergerak naik turun yang membuat kami tahu kamu masih di sini.
Tapi aku tahu kamu, Na, kamu terpejam bukan berarti kamu menyerah memperjuangkan hidupmu dan orang-orang yang menyayangimu di sini. Aku tahu kamu masih berjuang dalam tidurmu. Mungkin saat ini kamu sedang bernegosiasi dengan Tuhan tentang hidupmu atau mungkin sekarang Tuhan memberimu kesempatan untuk terlebih dulu merasakan surga dan menjadi malaikat di sana. Mungkin kamu sedang mengintip masa depan milik kita dan ketika kamu kembali kamu akan memberitahuku tentang itu—bagaimana tampang anak kita Na? Rumah kita? Come on, wake up and tell me.

Atau mungkin kamu sekarang hanyalah sedang tertidur. Apa pun, Na, aku yakin kamu tidak menyerah akan penyakit yang tidak pernah kamu bicarakan denganku.
Dari awal kamu sambut tanganku ketika aku ajak kamu untuk berkenalan di tempat duduk yang berada di pojok Starbucks Coffee tempatku bekerja—saat itu aku libur dan sengaja ke sana hanya untuk berkenalan denganmu, Na. Aku serius.—aku tahu kamu berbeda dengan perempuan lainnya. Kamu penuh misteri. Dari hari ke hari aku kumpulkan semua clue untuk membuka siapa kamu sebenarnya. Meski aku masih kecolongan sampai aku tidak menyadari bahwa kamu sakit, aku memang belum berhasil mengerti kamu sepenuhnya tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk belajar, Na.
Aku tidak akan pernah berhenti mencari dan memecahkan misteri tentang dirimu yang kamu tutup rapat-rapat sampai aku bisa temukan jawaban hidupmu. Dan aku harap akulah jawaban hidupmu.
My dear, Serafina. Kalau sekarang kamu belum berhasil bernegosiasi dengan Tuhan untuk memberikanmu izin membuka matamu dan kembali padaku. Please-just-don’t-stop. Aku yakin kamu bisa memenangkan hati-Nya seperti kamu memenangkan hatiku.
Just remember one thing, just do not stop, Dear. Because I can’t stop fight for you.
Dan aku akan berhenti menanyakan rasanya jatuh cinta. Aku akan memberikanmu jawaban atas itu lengkap dengan senyumku yang mengembang ketika menyambutmu kembali : Jadi, inilah rasanya jatuh cinta. Sekali kamu jatuh kamu tidak akan pernah mau untuk berhenti merasakannya.
****

Minggu, 21 Oktober 2012

I Wonder If you Hurt Like Me


Dalam mini dress bewarna putih dengan motif tribal di sisi bawahnya seorang perempuan bertubuh mungil berdiri di tengah padang ilalang. Ia memejamkan mata seiring angin menari-nari dihadapan wajah cantik tanpa make up itu. Hati kecilnya berharap angin mampu membawa pergi seluruh kenangan dengan laki-laki yang beberapa bulan lalu mengenalkannya pada tempat damai ini. Namun, sayang, memejamkan mata malah membuat segala kenangan itu berputar di kepalanya seperti film.
Tiba-tiba saja ia merasa sesak. Ia membuka matanya segera dan menarik nafas dalam-dalam.
“Tenang, Keysha... kamu harus tenang,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Sekali lagi ia menarik nafas kemudian membalikan badannya menuju civic hitam yang ia parkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia membuka bagasi belakang mobil dan mengambil sebuah kotak yang tidak terlalu besar lalu kembali ke tempat ia berdiri tadi. Dihadapannya sudah ada lubang yang sebelumnya ia gali dengan susah payah berjam-jam lalu.
Ragu-ragu ia membuka kotak itu. Mata cantiknya langsung menangkap beberapa foto yang saling bertumpukan serta sebuah botol kecil berisi surat juga sebuah cincin yang liontinnya membuat mata coklat itu silau karena bias dari sinar matahari.
Semua benda yang ada di kotak itu adalah bukti nyata dari kenangan yang pernah diberikan laki-laki yang dicintainya. Hampir semua benda itu diberikan di padang ilalang ini. Tempat yang cukup jauh dari keramaian, tempat mereka biasa berbagi bahagia, bahkan kadang tempat mereka merajut mimpi.
Mimpi-mimpi yang mereka tahu tidak akan pernah jadi nyata bagaimana pun mereka berusaha mewujudkannya. Karena satu alasan ; iman yang berbeda.
Ia mencoba mengenyahkan segalanya yang telah terlewati. Dan salah satu caranya adalah dengan menguburkan semua kenangan itu di sini. Ia tau seperti layaknya pelari yang terus saja berlari dari garis start menuju garish finish. Kedua garis yang terlihat berbeda tapi ternyata letaknya sama. Begitulah semuanya berakhir. Di garish finish yang hanya berbeda nama dengan garis start di tempat awal mereka memulai segalanya.
BIP!
Ponselnya berbunyi seiring ia menutup pintu mobil.
10 SMS dari laki-laki yang dicintainya, Win.
Ia membaca acak SMS itu.
Win : Key, tunggu aku. Aku pasti datang ke sana.
Itu sms tiga jam yang lalu.
Win : Keysha?? Kamu belum pergi ke sana kan? Aku baru mau ke bandara. Acara pertunangannya baru selesai.
Win : aku udah terlambat. Ya kan? Kamu pasti udah mengubur semuanya di sana.
Win : Key..how could you do this to me?
Win : Keysha, answer me...
Keysha tertawa miris.
How could I do this to you? Karena memang kita nggak akan bisa bersatu, Winner. Batin Keysha.
Satu sms masuk kembali. Masih dari Win.
                Win : I wonder, Key. Every second I’ve been passed without you. I wonder..if you
                                     hurt like me or not?
Ia ingin sekali membalas sms itu. Menjelaskan bahwa ia sama terlukanya dengan Win. Menjelaskan bahwa hanya Win yang ia mau dan semua yang ia lakukan saat ini bukanlah kemauannya. Tapi, kemudian ia berpikir sebagus apa pun ia menjawab pertanyaan Win, tidak akan ada yang bisa merubah segalanya. Tidak ada kecuali Tuhan menciptakan satu iman yang sama untuk mereka sejak awal mereka hadir di dunia.
****

Jumat, 05 Oktober 2012

Keping


“Love will not conquer it all but a chance will.” -Pandji
“Kita...sampai sini aja, ya, Ndji.”
Kalimatku waktu itu sukses membuatmu terdiam cukup lama. Tidak seperti biasanya yang selalu penuh emosi kamu kali ini hanya menatapku penuh tanya. Mungkin karena kepalamu masih terasa berat jadinya kamu lebih memilih untuk diam.
“Segampang itu, Cha?” tanyamu akhirnya.
Aku menunduk. Runtuh sudah kepercayaan diri menatap matamu itu.
Aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa dihadapanmu, Pandji. Aku bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang kita lakukan saat ini. Menuju kemana semua kalimat sayang dan rasa takut kehilangan yang saling kita tunjukan satu sama lain. Aku tidak tahu.
Aku tahu satu hal, aku bodoh ketika aku katakan bahwa hubungan kita sampai di sini saja waktu itu. Padahal hatiku sangat bertolak belakang keinginannya dari itu. Tapi, Pandji, aku hanya perempuan biasa yang tidak mampu membayangkan—menerima kenyataan—kamu sudah dimiliki perempuan lain yang lebih diakui di depan seluruh keluargamu. Meski pun—mungkin—Ibumu merestui kita.
Jujur saja, aku bahkan tidak berani membayangkan masa depan kita yang kamu bilang bisa kamu perjuangkan.
Apa sebenarnya yang kita perjuangkan, Ndji? Apa?
Dan pertanyaan itu makin terngiang di kepalaku ketika akhirnya hari ini kamu tunjukan betapa mudahnya kamu berubah menjadi orang yang sangat berbeda.
Siang ini, setelah aku meninggalkan Thyra yang kebingungan karena dikerjai oleh Fey dan Mara kita berdua pergi menuju studio foto untuk mengambil hasil cetakan foto Eyang. Kamu tertawa begitu lepas ketika aku menceritakan keisengan Fey dan Mara. Kamu terdengar seperti salah satu dari Augie, Dricky dan Fandi yang menerima sahabat dari kekasihnya. Bukan pria yang memintaku kembali dengan mengancam keselamatan orang-orang yang kusayangi.
Diam-diam ambil foto Pandji
Lalu setelah kamu berbasa-basi dengan pemilik studio itu, kamu mengajakku untuk makan siang di apartemenmu. Katamu, kamu mau memasakanku sesuatu yang spesial.
Aku terkejut. Baru tahu kalau kamu bisa memasak.
Sepanjang jalan aku paksa kamu untuk bilang apa sebenarnya yang ingin kamu masakkan untukku. Tapi, mulutmu seolah terkunci dengan pengamanan tingkat CIA.
Akhirnya aku menyerah dan menuruti perintahmu untuk menunggu di sofa ruang tengah—sofa favoritku—tanpa boleh membantumu.
Bahkan kamu mengikatkan scarf mengelilingi wajahku agar aku tidak mencuri lihat.
Mungkin sudah lebih dari setengah jam, samar-samar wangi sambal yang khas menari di hidungku.
“Ndji, kamu pasti bikin pecel ayam ya?” tanyaku setengah berteriak.
Baby, rules number one, do not ask. Ok?”
“Lama banget, aku udah lapeeeeer.”
“Iya, sayang, sebentar lagi ini selesai.”
Tiba-tiba saja kedua tanganmu ada di bahuku, “Ayo bangun, makanan sudah siap,” bisikmu sambil membantuku berdiri untuk melangkah ke meja makan dan duduk di sana.
Kamu membuka scarf yang menutupi penglihatanku perlu beberapa detik untuk melihat dengan jelas apa yang kamu sajikan di meja makan.
Wow.
Cah kangkung dan ayam penyet.
“Kok malah bengong? Di makan dong, katanya kamu lapar?”
Aku tersenyum menatapmu yang duduk di sampingku. Aku menyuap masakanmu dan...Pandji...ya Tuhan. Ini enak.
“Enak?” kamu bertanya dengan cemas.
Aku hanya menganggukan kepala dengan semangat dan terus mengunyah masakanmu.
“Kalau aku tau kamu sejago ini, aku hire kamu jadi chef di cafe aku, Ndji,” kataku.
Kamu tertawa, “Wani piro, Mbak?”
“Di bayar pake cinta ya?” aku mengerlingkan mataku manja.
Lagi-lagi kamu tergelak, “Kalau gitu langsung hire aku jadi suamimu aja, Cha.”
You wish!” godaku.
Lalu kita melanjutkan makan dalam diam. Aku langsung membersihkan seluruh peralatan makan yang tadi kita pakai sementara kamu mengupas mangga. Setelah semua bersih, kita duduk di sofa, aku langsung mengecek BB milikku takut-takut ada yang penting mengenai cafe. Tanganmu dengan sigap menyuapi mangga manalagi yang kamu potong dadu ke mulutku. Suap-suapan itu mesti terhenti ketika ponselmu berbunyi nyaring.

Babe, tolong, dong,” kamu menunjuk ke arah ponselmu yang terletak tak jauh dari jangkauanku.
“Siapa, Cha?”
“Enggak ada namanya. Nih.”
Kamu melihat nomernya, mencoba menerka siapa yang meneleponmu. Aku sandarkan kepalaku di bahumu kirimu. Kamu memindahkan ponsel itu ke genggaman tangan kananmu, tangan kirimu membuka dan membawaku lebih dekat denganmu kemudian kamu menjawab telepon itu.
“Hallo. Who’s speaking?” sapamu sambil jemarimu mengelus sayang rambutku.
“Oh, God. Tasha!”
Ta..sha? Natasha? Si Raden Roro itu?
Perasaanku langsung berubah jadi tidak enak.
Aku menolehkan kepalaku ke arahmu, kamu hanya tersenyum.
Hey, Babe. I’m good. It’s been a long time. I miss you.”
Aku langsung bangkit tapi tanganmu menahanku. Apakah kamu tidak tahu kupingku panas sekali, Pandji?!
“Aku lagi di apartement, lagi ngambil barang yang ketinggalan. Kamu? Lagi di Spain? Ngapain? Enaknyaaaa.”
Aku melepaskan tanganmu dengan sekuat tenaga kemudian pergi ke pantry. Mengambil air minum untuk menenangkan diri. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Terus begitu sambil berusaha untuk tidak memikirkan pembicaraan mesra Pandji dengan tunangannya. Lalu aku merasa bodoh. Untuk apa juga merasa sesak seperti ini sih?
Kamu pikir kamu siapa, Scha? Ha ha.
“Cha...” kamu memanggilku sambil berjalan mendekat beberapa menit kemudian.
Aku yang sedari tadi menunduk menarik nafas dalam-dalam kemudian mengangkat wajahku dan tersenyum ke arahmu.
“Iya? Udah selesai? Gimana kabar Tasha? Baik-baik aja kan?”
Kamu terus berjalan ke arahku tanpa menjawab satu pun pertanyaanku.
“Dia lagi di Spain ya? Seru banget. Katanya cuaca di sana enak banget loh, Ndji. Kamu pernah ke sana juga?”
Kamu masih diam dan kali ini menatapku dalam-dalam dari seberang meja pantry.
“Tasha kapan pulang, Ndji? Pasti kamu kangen berat ya sama dia.”
Kamu mendekatiku. “Cukup,” bisikmu.
“Tasha juga pasti kangen banget sama kamu ya, Ndji.”
“Ratischa, cukup! Oke? Please.”
Aku menunduk. Berusaha menahan rasa sesak ini sekuat-kuatnya. Tapi gagal dan menghasilkan titik-titik air mata.
Kamu menarikku dalam pelukanmu. Bodoh. Kamu seharusnya tidak perlu memelukku, Ndji.
“Ndji, please, kita udahan aja, ya,” bisikku di sela tangis.
“Enggak mau! Kamu ngomong apa sih!”
“Aku enggak tahan, Ndji. Sumpah. Apa sih yang sebenarnya kita perjuangin di sini, Ndji? Apa?”
Aku melepaskan pelukmu dan menatapmu.
“Kita, Cha. Kita.”
“Kita? Pandji, kamu sadar enggak sih? Kita beda jauh banget!”
Kamu meraih tanganku, “Cha, jangan ngomong gitu. Aku cinta sama kamu. Demi Tuhan, aku enggak pernah setulus ini, Cha. Cuma ke kamu aja.”
“Cinta aja enggak cukup, Ndji. Enggak cukup untuk keluargamu nerima aku. Aku bukan siapa-siapa, aku—“
Kamu memotong kalimatku, “Kamu segalanya, Ratischa.”
Kemudian aku dan kamu hanya saling menatap dan diam.
Love will not conquer it all but a chance will. So, please, give me a chance to make this love conquer it all.”
Pandji...
Semoga anggukan kepalaku mampu membuat kepingan hati yang kamu remukan tadi bisa menyatu kembali seiring kita melangkah dalam satu tujuan pasti.